-->

KH. Abdul Karim Hasyim - Sastrawan yang Tak Dikenal

Sejarah bukan untuk kita lupakan. Adanya sejarah agar kita memetik pelajaran dari peejalanan hidup orang-orang terdahulu. Sebuah coretan tinta :KH. Abdul Karim Hasyim - Sastrawan yang Tak Dikenal, yang syarat akan nilai-nilai edukasi.

Ditulis oleh : A. Kanzul Fikri
Direktur PP. Al-Aqobah, Jombang - Jawa Timur

KH. Abdul Karim Hasyim - Sastrawan yang Tak Dikenal
Perawakannya tinggi sedang, tidak kurus dan tidak gemuk. Kulitnya kuning langsat. Sosoknya murah senyum dan cepat akrab kepada siapapun. Berpenampilan necis dengan tampilan berdasi dan berkopyah. Persis sepertinya kakaknya, KH. A. Wahid Hasyim.  

Beliau adalah KH. Abd. Karim Hasyim. Lahir pada tanggal 30 September 1919 di desa Tebuireng, Jombang, Putra ke 7 dari Hadratusyekh KH. Hasyim Asy'ari.

Urutan putra mbah Hasyim adalah sebagai berikut: Hannah, Khoiriyah Hasyim, Aisyah, Azzah, Abd. Wahid Hasyim, Abd. Khaliq Hasyim, Abd. Karim Hasyim, Ubaidillah, Masruroh, M. Yusuf Hasyim.

Sejak kecil beliau banyak mengaji pada santri-santri lain yang ada di Tebuireng. Di beberapa kesempatan, ia juga sering belajar langsung kepada kakaknya, Kyai Wahid Hasyim tentang dasar-dasar ilmu agama. Sifat rajin dan semangat menimba ilmu inilah yang tampak sejak masa kecilnya. Pertanda kelak akan menjadi tokoh besar.
Cerita Unik di Kajen

Ada kejadian unik ketika Sang Ayahanda, KH. Hasyim Asy'ari, memondokkan Gus Karim di suatu pondok di Kajen, Pati. Mbah Hasyim menitipkan beliau kepada Kyai Nawawi agar dapat mempelajari ilmu agama. Baru tujuh hari tinggal di kediaman Kyai Nawawi, Gus Karim sudah pamit boyong.


"Ngaji saya sudah khatam, katanya sudah boleh pulang..." seloroh Gus Karim.
Kyai Nawawi bingung. Padahal ia belum mengajari apa apa. 
" Awakmu ngaji apa, Gus?" Tanya kyai Nawawi.
"Jurumiyah" jawab Gus Karim.
"Yang mengajar siapa?
"Tidak tahu...orang tua..." Gus Karim mencoba menggambarkan "sosok" gurunya tersebut.

Kyai Nawawi pun keheranan. Tapi apa boleh buat, Gus Karim pun akhirnya diizinkan pulang kembali ke Tebuireng.

Beberapa waktu kemudian, Kyai Hasyim Asy’ari tiba-tiba datang ke Kajen, membuat kelabakan semua orang. Kyai Nawawi lah yang dituju.

“Kenapa anakku kau pulangkan, kang?” Kyai Hasyim seolah menggugat.
Kyai Nawawi tak enak hati.
“Bukannya saya pulangkan, kyai. Tapi kayaknya Gus Karim sudah cukup ngajinya”.
“Lho. Cuma seminggu itu memangnya kau ajari apa?”
“Bukan saya yang ngajar, Kyai”
“Lah siapa?”
“Mbah Kyai Mutamakkin”.

Mendapat jawaban seperti itu, Kyai Hasyim menunjukkan keheranannya, karena mbah Kyai Mutamakkin telah wafat beberapa ratus tahun yang lalu. Beliau adalah ulama' sekaligus waliyullah asal Kajen, yang hidup pada abad ke 17.

Kisah ini dituturkan oleh Kyai Mu'adz bin Thohir bin Nawawi, Kajen, Pati.

Ahli Sastra Arab.

Pada masanya, ilmu sastra Arab di Pesantren adalah disiplin ilmu yang kurang populis (tidak terlalu dibutuhkan). Ranah fan keagamaan lain seperti ilmu fiqih, Hadits, atau tasawuf, lebih digemari para santri untuk dipelajari. Maka tidak heran ilmu Sastra Arab kurang menarik minat para santri. Apalagi waktu itu Pesantren Tebuireng memiliki "Squad Dream Team" yang bertabur bintang, seperti KH. Wahid Hasyim, KH. Abd. Kholiq Hasyim, Kyai Adlan Aly, Kyai Ahmad Baidlowi dan Kyai Idris Kamali asal Cirebon.

Namun, kemahiran KH. Karim Hasyim dalam ilmu sastra Arab menjadi berkah dan warna tersendiri di Pesantren Tebuireng. 

Banyak ulama Timur Tengah yang berkunjung ke Pesantren Tebuireng, seperti Syekh Mahmoud Shaltout asal Mesir, di pertengahan tahun 1950 hingga tahun 70'an. Kyai Karim tampil sebagai Mutarjim (penterjemah) untuk mempermudah pemahaman para santri terkait isi pidatonya. Dari sinilah para santri dapat memahami bahwa pelajaran Bahasa Arab berserta keindahan seninya (sastra) tidak kalah penting untuk dipelajari.

Pun, Kyai Karim banyak menulis syair-syair yang indah, namun sayangnya, hingga saat ini ratusan karyanya belum sempat terbukukan. Manuskripnya tersebar dimana-mana.

Dalam beberapa karya tulisnya, seringkali dijumpai nama penulis yang tertera dengan nama pena "AKARHANAF", sebuah singkatan dari Abd. Karim Hasyim Nafiqoh.
Hasyim adalah nama ayahnya, sedangkan Nafiqoh adalah nama sang ibu.

Atas pengakuan keilmuan beliau dibidang sastra Arab, pemerintah pada tahun 1964 meminta beliau menjadi Dosen di IAIN Sunan Ampel Surabaya dan memberikan lecturing tentang Nushushul Adab dan ilmu Balaghah. 
Pelajaran sastra Arab yang terkenal cukup sulit dan kompleks itu, ditangan beliau nampak mudah. Kyai Karim menyukai metode ceramah diselingi dengan syair –syair yang terucap secara spontan dan sesekali diiringi humor-humor yang menyejukkan suasana kelas.

Gus Dur sendiri memberi pengakuan bahwa diantara keluarga Bani Hasyim, KH. Karim Hasyim adalah maestro dalam bidang sastra Arab.

Penampilan Sehari-hari

Kyai Karim adalah sosok yang tawadhu’, akrab dengan para santri, dekat dengan warga sekitar. Gemar berbahasa Indonesia. Padahal dikalangan santri, menggunakan bahasa Indonesia dalam interaksi sehari-hari adalah sesuatu yang jarang ditemui.

Dalam aspek kedisiplinan, beliau adalah sosok yang telaten membawa buku catatan kecil dan penanya di manapun berada. Jika ada ide yang terlintas, beliau pasti langsung menulisnya. Prinsip yang dipegang adalah:
من حَفِظَ ضاعَ و من كتب ثبت
"Barang siapa menghafal, maka akan hilang. Barang siapa mencatatnya, maka akan tersimpan". 

Menjadi Pengasuh Tebuireng

Ketika Hadratusyekh Hasyim Asya’ari wafat pada tahun 1947, pucuk kepemimpinan pesantren Tebuireng beralih ke Kyai Wahid Hasyim selama 3 tahun. Karena kesibukan beliau mengurusi Jam’iyyah Nadlatul Ulama’ dan menjabat sebagai Menteri Agama yang pertama, maka Kyai Wahid Hasyim menyerahkan tongkat estafet kepengasuhan Tebuireng kepada Kyai Karim Hasyim. Uniknya, jabatan ini hanya dilalui dalam masa setahun, sebuah periode yang sangat singkat (1950-1951).

Meski Cuma setahun, pemikiran progresif beliau dalam manajemen pendidikan tak terbendung. Kyai Karim merubah jenjang madrasah yang semula hanya dua tingkat, yakni Shifir dan Ibtida’iyah, menjadi tiga tingkat, yaitu Shifir dua tahun, Ibtidaiyah enam tahun dan tsanawiyah tiga tahun. Serta mendirikan madrasah Mua’llimin untuk mencetak generasi yang siap menjadi tenaga pendidik.

Pun, materi-materi umum seperti Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa inggris, lebih digalakkan di era beliau  (yang sudah ada sejak zaman KH. Wahid Hasyim). Begitu pula dengan skill keorganisasian dan Public speaking (orasi/pidato) digencarkan dikalangan santri Tebuireng waktu itu.

Inilah sebuah periode transisi menuju pengintegrasian system salaf dan system modern di pesantren Tebuireng.

Salah satu kader santri yang berhasil beliau orbitkan diantaranya adalah KH. Muchit Muzadi (Tuban), KH. Achmad Shiddiq (Jember), KH. Jazuli Noer (Bangkalan), KH. Abdur Rozaq Ma'shum (Kediri) dan lain sebagainya.

Isyarat Kepergian sang Sastrawan

Dalam suatu kesempatan ketika memberikan pengajian rutin bersama para santrinya di kediamannya, Kyai Karim berpesan sekaligus minta do’a kepada santri-santrinya “Kalau nanti saya ada manfaat untuk ikut siding MPR/DPR tahun 1972 (RUU Pekawinan) mudah-mudahan saya kembali. Kalau memang saya tidak membawa manfaat di MPR/DPR, mudah-mudahan saya tidak kembali”.

Pesan diatas sarat dengan kegundahan beliau ketika berada dalam panggung politik, yang ketika itu sedang terdapat gejolak di lingkungan DPR tentang pembahasan RUU Perkawinan. Mungkin pesan diatas adalah sebuah do’a dan bentuk kepasrahan beliau kepada Allah Swt dalam menyelesaikan masalah yang menimbulkan pro-kontra.

Pada 31 Desember 1972, Kyai Karim ditunjuk sebagai Majelis Pimpinan Haji (MPH) bagi segenap  umat Islam yang berhaji ke Mekkah. Ketika ditengah-tengah padatanya aktifitas di Mekkah, beliau merasa kondisinya kurang fit kemudian jatuh sakit. 

Setelah mendapat perawatan intensif, takdir berkata lain. Beliau wafat pada keesokan pagi harinya. Tak berselang lama, ribuan pentakziyah datang silih berganti ke lokasi disemayamkan jenazah. Sebuah penghormatan terakhir untuk sang Kyai sastrawan.

Jenazah Kyai Karim dimandikan oleh Syekh Yasin Al Fadani dan empat ulama’ dari Mekkah. Jenazah beliau kemudian dibawa ke Masjidil Haram untuk dishalati bersama ratusan ribu bahkan jutaan kaum muslimin yang sedang berhaji, dan dimakamkan di Ma’la dan berada satu komplek dengan makam Sayyidah Khadijah RA.

Tumbangnya Pohon Sawo di Tebuireng

Bertepatan dengan hari wafat beliau, pohon sawo besar yang ditanam KH. Hasyim Asyari di Tebuireng mendadak roboh. Padahal pohon sawo ini sudah sekian lamanya tumbuh, sebagaimana mitos bahwa keturunan Joko Tingkir harus menanam pohon sawo. Karena kata sawo berasal dari bahasa Arab “Shawwu” yang artinya merapatkan barisan. Sudah menjadi kewajiban bagi para ulama' dimasa lampau untuk merapatkan barisan guna berjuang dan berdakwah di jalan Allah Swt.

Robohnya pohon sawo menjadi pertanda bahwa seorang anggota keluarga besar Bani Hasyim telah berpulang ke rahmatullah. Semoga Allah swt membalas semua jasa-jasa almarhum KH. Karim Hasyim dan ditempatkan di surga Firdaus-Nya. Amiin.

Agar banyak yang mengetahui kisah beliau, silahkan share artikel ini
KH. Abdul Karim Hasyim - Sastrawan yang Tak Dikenal