-->

Peserta Didik dalam Perspektif Pendidikan Islam

Diantara indikasi keluasan dan keutuhan pendidikan Islam, adalah perhatiannya terhadap pendidikan manusia dalam semua jenjang usia dengan variasi karakter dan motodenya. Sebagai contoh, Islam memberikan perhatian pendidikan demikian banyak kepada anak, sebagai cikal bakal kedewasaan manusia di masa-masa mendatang. Karenanya ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi sebagai sumber pokok rujukan pendidikan Islam, sarat dengan nuansa pendidikan Islam.

Al-Qur’an menyebut kata ath-thiflu ( anak ) sebanyak 4 kali, yakni ath-thiflu dalam surat an-Nur: 31, yang membicarakan tentang anak yang belum memahami aurat wanita, kata al-athfaal ( bentuk banyak / plural ) dalam suart an-Nur: 59, yaitu ayat yang menjelaskan adab minta izin bagi anak yang telah mencapai usia baligh, selanjutnya kata thiflan disebut 2 kali dalam surat al-Hajj: 5 dan surat Ghofir: 67 keduanya membahas tentang tahapan penciptaan anak manusia.

Di samping itu, al-qur’an menyebutkan kata anak dengan selain kosa kata ath-thiflu, seperti: ash-shobi, ghulam, walad/aulaad, fataa/fityatun dsb. Penyebutan al-Qur’an merupakan indikasi perhatian al-Qur’an terhadap dunia anak ( baca: anak didik). Selain itu al-Qur’an juga banyak meyebutkan kisah-kisah tentang anak-anak, seperti: kisah kanak-kanak Nabi Ismail a.s. (QS. Ibrahim: 37, ash-Shofat: 102, 104, 107) kisah seorang anak Yusuf a.s. (Q.S. Yusuf: 5-21) , kisah nabi Musa pada masa anak-anak (Q.S. al-Qoshosh: 6-12) dsb.

Sebagaimana perhaitan al-Qur’an terhadap anak, as-Sunnah memberikan perhatian terhadap anak, antara lain dalam masalah:
  1. Fitrah anak yang bersih dapat dipengaruhi karena faktor lingkungan, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim.
  2. Hadits ahmad, Abu Daud dan an-Nasai tentang perintah shalat untuk anak.
  3. Kalimat yang baik bagi anak saat membuka mata dalam kehidupan ini, seperti yang diriwayatkan Abu Daud dll. 
  4. Keutamaan pendidikan anak ( HR. Ahmad dll)
  5. Anjuran akikah dan khitan ( Hadits riwayat Bukhari muslim, Abu Daud dan Tirmizi).
  6. Anjuran Pemberian nama yang baik dan melakukan tahnik ( memoleskan) kurma dan madu di rongga mulutnya ( dalam hadits Bukhari Muslim ). 
  7. Anjuran mengolahragakan anak yang berorientasi kesegaran dan kebugaran jasmani ( seperti dalam hadits an-nasai, Ibnu Majah ). 
  8. Anjuran mengazankan dan membacakan iqomat pada telinga anak ( seperti dalam hadits Abu Daud, Tirmizi dari Abu Rofi’ yang telah menyaksikan sendiri apa yang telah dilakukan Rasulullah saw terhadap cucunya al-Husein bin ali bin Abi Tholib.

Diantara peserta didik yang mendapat perhatian lebih dalam pendidikan Islam adalah remaja, yang dikenal dalam bahasa ‘masa kini’ dengan sebutan ‘ABG’ alias anak baru gede, dengan gaya dan model hidup yang hedonis dan materialistis. Remaja semperti itu tidak dikenal dalam kamus pendidikan Islam, sebab anak usia remaja tersebut sejatinya sudah menjadi manusia utuh saat ia mencapai usia baligh dengan tanda dan karakter tertentu sebagaimana dikenal dalam syariat Islam. Prototipe remaja salaf yang dapat dijadikan acuan pendidikan Islam dapat kita cermati dari beberapa kisah dan peristiwa mensejarah berikut.

Suatu saat dalam suasana penuh keprihatinan negara Sang Khalifah mengajak beberapa menterinya untuk berandai-andai, seraya berkata: “Cobalah kalian beranda-andai”. Dengan semangat seorang menteri menyambut permintaan Khalifah, katanya: Aku ingin ruangan besar ini (ruang rapat para menteri) dipenuhi dengan emas, untuk keperluan negara. Yang lainpun menimpali: “Aku berangan-angan rumahku diisi dengan permata Lu’luah, yang akan kusumbangkan untuk membela agama”. “Kalau aku sih tidak ingin apa-apa selain menjadi orang kaya raya, kekayaan itu untuk membantu kesejahteraan rakyat”, kata seorang pejabat yang lain. Sang Khalifah tersenyum lebar mendengar angan-angan yang diungkapkan para menterinya, seraya berkata: “Kalau aku dimintai pendapat, aku berangan-angan kemunculan kembali generasi seperti Mu’adz bin Jabal, Salim Maula Abi Hudzaifah, Abu Ubaidah bin al-Jarah”. Hadirin pun tercengang mendengar arahan Khalifah Umar bin Khathab r.a.

Sungguh arif sikap Khalifah Umar bin Khathab; dalam suasana krisis ekonomi negara, beliau mengedepankan kemunculan SDM (Sumber Daua Manusia) yang unggul memiliki sifat-sifat kenegarawanan semacam Mu’adz bin Jabal sang hakim agung nan jujur lagi bijaksana, sebagaimana sabda Rasulullah: “Muadz bin Jabal adalah orang yang paling tahu tentang hala dan halal di kalangan umatku”. Salim Maula Abu Hudzaifah seorang leader muslim pada masanya, sehingga Umar sendiri mengatakan: “Kalau Salim masih hidup, maka dialah yang layak menjadi penggantiku”. Abu Ubaidah ahli strategi perang yang teruji dalam peristiwa-peristiwa bersejarah, beliau juga dikenal seorang ahli menejemen sebagaimana sabda Rasulullah: “Setiap umat mempunyai seorang “amin”, Abu Ubaidah bin al-Jarah adalah “amin” umat Islam”. Khalifah mengenang mereka, berharap akan munculnya kembali generasi semacam mereka. Sebab betapapun canggihnya sarana yang dimiliki negara, betapa melimpahnya dana, betapapun hebatnya sistem dan undang-undang dalam negara, manakala sumber daya manusianya tidak kompeten berperan sebagai pelaksana, maka semua itu menjadi sesuatu yang kurang bermanfaat atau sia-sia.

Yang menarik adalah mereka yang disebut tahadi dan pahlawan-pahlawan muslim pelaku sejarah lainnya, mereka adalah para pemuda, bahkan –dalam bahasa kekinian- para remaja ‘ABG’ yang lulus dalam pendidikan Nabawi di masa awal Islam. Sebut saja Muadz bin Jabal saat dinobatkan menjadi hakim agung, usianya masih 18 tahun, Salim maula Abu Hudzaifah seorang remaja belasan tahun juga, Mush’ab bin Umair ditugaskan sebagai da’I di Yatsrib (Madinah), Usamah bin Zaid menerima jabatan panglima perang dalam peristiwa Tabuk melawan Romawi usianya saat itu baru 17 tahun. Mereka tidak Cuma matang biologis, tetapi matang dalam aspek lainnya, emosional dan spiritual, sehingga dalam usia yang masih relatif muda mereka mampu memberikan kontribusi positif dalam catatan sejarah peradaban Islam.

Bila dibandingkan dengan remaja muslim masa kini, mereka jarang –kalaupun tidak ada- mendapat amanat dan tugas seberat remaja masa lalu. Mungkin secara biologis sama saja, mereka yang berusia 15 atau 16 tahun telah mengalami masa baligh (bermimpi / menstruasi), tetapi secara emosional dan spiritual belum tentu serupa, bahkan sangat berbeda. Sehingga sikap dan perilaku remaja masa lalu dan masa kini pun menjadi beda. Kalau boleh penulis katakan, terjadi ‘kesenjangan moralitas’ antara remaja dahulu dan remaja masa kini.

Masa remaja dalam Islam lebih dikenal dengan istilah “Aqil Baligh”, yang berarti anak telah mencapai kematangan biologis dan emosional,secara biologis anak perempuan mencapai kematangannya dengan ditandai menstruasi (haidh) sedangkan lelaki ditandai dengan “bermimpi basah” (ihtilam). Keunikan kriteria tersebut merupakan potensi bagi setiap anak manusia yang melalui masa remaja, karenanya anak remaja dapat dikatakan sebagai anak “potensial”, apalagi diantara sifat remaja adalah mudah terpengaruh dan labil ( Dra Singgih, 39), sehingga faktor eksogen atau faktor eksternal memegang peranan yang cukup besar dalam perubahan yang terjadi pada remaja. Karenanya pula remaja sering mengalami beberapa permasalahan yang khas seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan yang sangat cepat berlangsungnya, permasalahan khas tersebut dapat diidentifikasi antara lain: dorongan seksual, pekerjaan, hubungan dengan orang tua, pergaulan sosial, interaksi kebudayaan, emosi, pertumbuhan pribadi dan sosial, problema sosial, penggunaan waktu uang, keuangan, kesehatan dan agama (Drs Hasan Basri, Remaja Berkualitas, 72).

Potensi yang dimiliki remaja sepatutnya tidak dipandang dengan pandangan negatif atau pesimis hanya karena melihat ekses atau dampak-dampak buruk yang terjadi akibat “mis-education” terhadap masa remaja masa kini. Pandangan positif terhadap masa remaja telah diilhami dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw. Allah berfirman: “( Allah menciptakan kamu dari kelemahan, kemudian menjadikan kuat setelah masa lemah, lalu menjadikan lemah kembali dan beruban, Dia menciptakan sehendakNya, Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa )” Q.S ar-Rum: 54. Masa kuat dalam ayat adalah masa remaja dan masa dewasa ( tafsir Ibnu Katsir 3/424). Sayyid Quthub menegaskan, bahwa kuat dalam ayat meliputi kekuatan fisiologi, psikologi, sebagaimana meliputi kekuatan dalam struktur pembentukan postur tubuh dan intelektual ( Fi Zhilal al-Qur’an 5/2776). Di samping itu kita dapat melihat kisah-kisah kepahlawanan dalam al-Qur’an yang dilakoni oleh para remaja dan pemuda, seperti kisah ashabul Kahfi (penghuni gua), kisah ashabul Ukhdud, kisah Hawariyyun (pengikut Nabi Isa a.s), kisah pengikut Nabi Musa as dll.

Karena masa potensial ini pula Nabi Muhammad saw sering mengarahkan kehidupan masa remaja dalam banyak haditsnya, antara lain: “Manfaatkanlah lima kesempatan sebelum datang lima kesempitan: masa mudamu sebelum datang masa tuamu,masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum miskin, hidupmu sebelum datang kematian dan masa lapangmu sebelum datang masa sibuk –al-hadits-)”. Dalam hadits yang lain “Bersegeralah melakukan amal sebelum datang tujuh keadaan, al: masa tua yang membuat kamu pikun ..-al-hadits-. Dalam perjalanan sejarah manusia, selalu kaum muda dan remaja mengambil andil dan peran yang tidak kalah penting dari peran yang dimainkan kaum tua. Masa kini dunia dan umat tengah menanti peran-peran itu muncul kembali, mereka mengharap tampilnya para remaja dan pemuda yang melakukan perubahan keadaan menuju kesejateraan hidup dan kehidupan. Harapan dan angan-angan itu merupakan tantangan bagi para remaja dan pemuda, sebagaimana yang pernah diungkap oleh Iqbal dalam sajaknya: “…… Sudahkah kau siap, menyambut sang surya di ufuq fajar ? Kelopak matamu terlalu berat untuk menyambut azan pagi. Shubuhmu masih tenggelam dalam selimut tebal, sajadahmu putih bertabur debu, mihrabmu dipenuhi sarang laba-laba, khatibmu digiring ke mimbar dengan pedang kayu, pekikan jihad tidak lagi membahana di kalbumu… lalu…lalu …… !! “ ……”Bangunlah engkau wahai pemuda. Tidakkah engkau dengar bisik Muhammad, kamulah sebaik-baik umat…”.

Demikian tinggi nilai masa remaja dan betapa besar harapan terhadap remaja, karena remaja merupakan “standard-age” bagi keberhasilan pendidikan anak sejak kecil hingga remaja, juga sebagai “kunci” bagi keberhasilan pendidikan di masa-masa selanjutnya. Karenanya target pembinaan remaja menjadi suatu signifikan dalam pembahasan pembinaan remaja. Ditinjau dari penggunaan istilah pendidikan memberikan makna dalam dan berarti. Sebab kata pendidikan itu sendiri mengandung arti usaha pembinaan anak didik, bukan sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain sebenarnya orientasi pendidikan adalah sikap dan perilaku, bukan semata teori-teori abstrak.

Suatu hal yang perlu kita sepakati, bahwa proses pendidikan akan menemukan hakikatnya, manakala dalam prosesnya secara total melibatkan semua aspek atau dimensi yang melekat secara fitri dalam diri manusia; karena perspektif Islam terhadap manusia sebagai subyek dan sekaligus obyek proses pendidikan, merupakan pandangan yang sesuai dengan fitrah manusia sebagaimana diciptakan Allah swt. Dimensi yang ada pada manusia meliputi dimensi aql (intelektual) yakni tempat mengolah proses fikir, qalb (hati ) yakni tempat mengolah mengolah intuisi, dimensi fisik tempat mengasah rasa (sense), dimensi nafs (jiwa) tempat mengolah emosi, dan dimensi ruh tempat bersemayamnya kebenaran wahyu. Dengan kata lain: integrasi dalam kurikulum pendidikan Islam mencakup unsur jasad, akal dan hati. Sehingga tujuan pendidikan sejalan seiring dengan tujuan diturunkannya Islam itu sendiri, yaitu terbentuknya manusia muttaqin, yang diterjemahkan pada tingkat kurikulum menjadi “insan yang berakidah benar, akal cerdas, akhlak mulia, tubuh kuat. Bisa dibandingkan dengan tujuan pendidikan Benyamin Bloom, yakni kognitif, afektif & psikomotor .

Ada orang bilang: ‘Itukan dahulu, sekarang kan zamannya sudah beda !!. Ada juga yang mengatakan: Kalau shahabat dahulu kan anak muridnya Nabi ‘sebagai guru agama’, kalau kita sekarang murid siapa ??? . Benarkah perbedaan kualitas generasi dilihat karena beda zaman atau tempat ? Apakah keberadaan Rasulullah menjadi faktor keberhasilan generasi awal dalam pembinaan remaja Islam ? Atau faktor takdir dari munculnya generasi saat ini yang sangat beda dengan kualitas remaja masa Nabi dan Shahabat ??? Pertanyaan-pertanyaan ini setidaknya memunculkan keseriusan kita untuk membahas “Konsep Pembinaan Remaja Muslim Dalam Persfektif Islam. Yang jelas, bahwa Islam menempatkan posisi antara dua sisi ‘ekstrim’, antara sisi mengekang kehidupan remaja yang potensial dan sisi permisif yang melepas remaja dalam kebebasan tanpa batas. Semua dilakukannya dengan perhatian kepada remaja sebagai manusia yang dikarunia fitrah sebagaimana manusia lainnya.

Sumber: Cuplikan dari Tulisan DR. H.M. Idris A.Shomad M.A dengan judul :INTEGRITAS PENDIDIKAN ISLAM
Peserta Didik dalam Perspektif Pendidikan Islam